Cerpen “Persahabatan yang Kokoh”

Siang ini aku nongkrong dengan sahabat–sahabatku. Kami terdiri dari 5 orang yaitu aku (Ikhwan), Kayla, Fandi, Dimas, dan Riani. Kami sudah bersahabat sejak 4 tahun kira kira dari SMA. Setelah 4 tahun bersahabat, banyak sekali rintangan atau bisa dibilang ujian dari persahabatan kami. Ya sudah jam 3 tepat, aku harus pergi sekarang, lagi-lagi aku telat. Ketika aku sampai disana, semuanya sudah datang, Kayla menyambut dengan dingin “kebiasaan” “Kayla Kayla, kayak baru kenal aku aja” Jawabku. “sudah-sudah” Riana mendamaikan kami. “Besok kan kita libur seminggu, kira-kira kita kemana nih? Kan gak lucu kalau dirumah aja” Tanya Kayla. “Aku sih terserah, aku ikut aja” Jawab Dimas. “Kalau kepantai gimana?” Usulku, Mereka semua menggelengkan kepala tanda tidak setuju. “Jadi kemana? Fan, kasi usul dong” Kataku. Seketika semua diam dan suara Fandi memecah suasana hening ini “Gimana kalau kita daki Gunung aja?”. Memang Fandi dikenal sebagai orang yang dewasa, orang yang dapat memecahkan masalah di persahabatan kami. Kami semua setuju. Dimas yang terkenal pendiam tiba-tiba bicara “Aku ngajak si Agus dan Hanif ya?” “Terserah saja, lebih rame lebih asik. Lagian si Hanif juga orangnya enak bergaul” Jawabku.

Keesokan harinya pun tiba-tiba, seperti biasa aku terlambat. Kami berkumpul di rumah Kayla, kami memilih rumah Kayla karna memang rumah Kaylalah yang kami jadiin tempat nongkrong selain di cafe. “Udah semuakan? Kita naik kereta api aja ya, gak usah naik mobil lagian semalam aku udah beli tiketnya” Usul Fandi, “Kami ikut aja Fan” Jawab Riani. Kami naik kereta api yang ber-AC karna kami tau Riani Alergi kalau kepsan “Sungguh lebay hidupnya” aku berkata dalam hati.
Dalam kereta

“Ini akan menjadi perjaln yang panjang, jadi sebaiknya aku tidur” Kataku. “Alah wan wan. Memang hobi tidur aja pakai alasan segala” Ledek Hanif, semua tertawa tapi aku tidak peduli, aku langsung tidur. Ketika aku bangun tidur semuanya malah pada tertidur, tinggal 1 orang yang masih melek, dia Hanif. Hanif mengajakku ke kursi belakang, dia mau cerita, dan kursi belakanglah yang kosong. Akupun mengikutinya. “Ada apa nif?” Tanyaku, “Gini wan, jadi aku mau cerita tentang Dimas. Jadi semalamkan waktu dia ngajak aku ikut dengan kalian, dia cerita ke aku tentang kami” Hanif menjawab dengan serius. “terus?” tanyaku penasaran. “Tapi jangan bilang-bilang ke dia kalau aku cerita ke kamu ya, Dimas semalam bilang kalau waktu itu dia pernah marahan denganmu tentang kamu yang tidak bayar uang Futsal” Lanjut Hanif. “Akukan udah minta maaf, lagian juga itu udah lama” Aku memotong pembicaraan Hanif. “Eh, jangan dipotong dulu, simpan pertanyaan, saran, kritik, komentar di akhir cerita, oke? Iya memang kamu udah minta maaf, tapi sebelum kamu minta maaf, kalian hampir mau berantamkan? Kamu mengajaknya berantam di sekolah dan k-k pada melerai kalian. Jadi dia bilang denganku kalau dia masih dendam dengan kamu, katanya gini “Itu si Ikhwan, dipikirnya aku takutdengannya, kalau enggak karna dilerai aja waktu itu kuhabisi dia” gitu dia bilang denganku” Hanif selesai cerita. Aku terdiam, aku masih tidak percaya dengan apa yang kudengar. “Kau serius?” tanyaku. “ya begitulah yang dikatakannya” jawab hanif. Lalu hanif melanjutkan “Yuk, kita balik, nanti k – k malah nyariin,” aku mengikutinya balik ke tempat duduk kami. Aku berfikir Dimas udah memaafkan dan melupakan kejadian itu, aku gak nyangka dia berkata seperti itu dibelakangku. Aku harus waspada dengannya. “Eh, kalian darim? Kok lama kali baliknya?” kata Fandi. “Enggak, tadi aku cerita – cerita dengan Hanif di belakang”. Jawabku. “mukamu kenapa wan? Kok murung gitu?” Tanya fandi lagi. “Enggak kok gakpapa” jawabku lagi. “Eh kita udah sampai di Stasiun tuh” Kata Fandi.

Di Stasiun.
“Kita langsung pergi kes atau istirahat dulu?” tanyaku “Kita istirahat saja dulu, lagian waktu kita masih panjang” Usul Riani. Semuanya setuju dengan usul Riani, Kami mempunyai waktu kira-kira 5 hari, Jadi kami tidak perlu terburu-buru. Setela beristirahat selama 2 jam kami melanjutkan perjalanan dengan mencarter mobil Jeep, udaranya sejuk, jadi tidak membuat Riani kepanasan.

Kami turun di perumahan dekat kaki gunung. Sekitar 1 km lagi ke gunung. Dari sini kami harus jalan kaki karena tidak ada jalur untuk mobil, kami menitip mobil di rumah Pak RT, Kami berjalan dengan membawa tas yang berat tapi semuanya tidak nampak keberatan, karna mereka sangat bersemangat sehingga berat tas itu tidak terasa, kami sampai di kaki gunung. Disini sepi, dan mungkin hanya kelompok kami yang berniat untuk mendaki. Kami datang ke petugas pendakian untuk meminta izin mendaki. Petugas itu menanyakan apakah kami memerlukan pemandu, namun Fandi mengatakan tidak usah, karna dia dan aku sudah pernah mendaki gunung ini jadi dia merasa tidak perlu pemandu.

Sebelum kami bergerak mendaki gunung, Fandi menanyakan kesiapan kami karna ini tantangan bertaruh nyawa, kami semua yakin. Lalu Fandi menyuruh kami membuat wasiat jika terjadi apa-apa pada kami. “Ini sudah jam 2 sore, kita bergerak sekarang dan jam 8 kita istirahat dan berkemah digunung, waktu kita sampai kepuncak gunung 12 jam, jadi besok jam 4 pagi kita berangkat agar jam 10 pagi nanti sudah sampai dipuncak, semua siap?” Fandi mengoceh seolah–olah menjadi pemandu kami “Siapp!” Jawab kami serentak. Kami berjalan selama 6jam tanpa kendala, diperjaln tadi kami kesulitan menentukan arah karena ada dua rute yang berbeda arah, aku berkata pilih rute yang kiri sedangkan Fandi memilih rute yang kn, karna Fandi pengganti pemandu, jadi kami mengikuti feelingnya. Ternyata feeling Fandi benar, gak kebayang jika mereka memilih feelingku. Jam 8 pun tiba kami beristirahat dan berkemah di tengah gunung. Kami berbagi tugas, Riani dan Kaya memasak, Aku dan Dimas mencari kayu bakar, Fandi, Hanif, dan Agus menyusun tenda. “Ini saat yang tepat untuk menanyakan tentang cerita Hanif tadi” pikirku. “Mas, aku mau bicara” aku bicara dengan serius. “yaudah bicara mah bicara aja wan” jawabnya tenang. “Apa benar kamu itu masih kejadian di futsal itu? Dan kamu bilang ingin menghabisiku?” tanyaku dengan was-was. “Siapa bilang? Aku uda melupakan itu, malah aku mau bertanya hal itu padamu” Jawab Dimas. “Enggak usah ngehindar gitu, aku udah tau semua, kalau gitu kita selesaikan sekarang saja” Tantangku. “Bukannya kamu yang bilang begitu?” jawab dimas dengan muka polos. “Sudah jangan menghindar, aku sudah tau semuanya dari Hanif, tadi di Kereta dia cerita denganku” kataku. “Oh, jadi gitu. Aku juga diceritakan Hanif hal yang sama, aku tahu sekarang maksudnya” Kata Dimas. “Maksudmu?” tanyaku heran. “Dia mau mengadu domba kita berdua, semalam juga aku tidak percaya dengannya dan sekarang terbukti, Hati-hatilah dengannya” Kata dimas dengan serius. Aku juga awalnya juga tidak percaya dengan Hanif. Aku gak nyangka dia berbuat seperti itu, pikirannya licik. “Maafkan akumas, aku salah paham” Aku menodorkan tanganku “Gakpapa wan, kita berduakan korban fitnah aja” Dia menyambut tanganku, kami bersalaman “yuk, cari kayu bakar” ajakku. Dia mengangguk dan kami mencari banyak kayu bakar untuk persediaan api yang lama dan setelah itu kembali ke perkemahan. Tenda sudah siap, makn juga, senangnya hati. Aku dan dimas membuat api unggun dengan kayu bakar tadi. Setelah semua siap, kami makan bersama dan langsung tidur agar bisa bangun jam 4 nanti.

Kami bangun jam 4 lewat 10 menit, Fandi menginstruksikan agar kami hati–hati, jika salah jalan, bisa bisa masuk jurang dan dari mulia disini sudah tidak ada rute lagi jadi kami mulai mendaki. Sekitar jam 8 pagi, kami istirahat 5 menit, jadi siapa yang haus, mau makan atau yang lainnya, bisa dilakukan sebentar, lalu kami bergerak lagi ke puncak tanpa kendala dan akhirnya sampai di puncak gunung. Tidak ada orang disini, sunyi sepi senyap. Kami menikmati udara sejuk di gunung dan foto–foto untuk kenang-kenangan dan rasanya sangat puas, senang sekali bisa menginjakkan kaki di puncak gunung ini. Kami berada di puncak hanya 4 jam saja, jadi jam 2 siang kami bergerak untuk turun gunung, turun gunung tidak seekstrim saat mendaki tadi karena kami turun saat masih cerah, jadi kami mudah memilih jalan. Kami berkemah ditempat semalam. Seperti semalam aku diberi tugas mencari kayu bakar dengan dimas, aku menolaknya, aku berkata sebaiknya Dimas nyusun tenda, aku dan Hanif yang mencari kayu bakar, dan Fandi menyetujuinya.

Didalam hutan aku menanyakan tentang yang dia ceritakan semalam. “Nif, kenapa kamu mengadu domba aku dan Dimas? Apa salah kami denganmu? Kami salah menilaimu!” Aku membentaknya. “Siapa yang mengadu domba kalian? Jangan nuduh gitu dong” jawabnya “Kamu masih mau ngehindar gitu? Jangan munafik! Kamu juga bercerita hal yang sama dengan Dimas seperti yang kamu katakan kepadaku bukan? Tanyaku dengan emosi “Oh, jadi kalian udah tau? Hahaha memang aku ingin kalian pecah, ingin sekali!” Jawabnya licik. “ Waaaaaannn, Niiiiffff” ada teriakan dari jauh, sepertinya suara Kayla dan Riani “Kamii disinii” balasku teriak. Terlihat Kayla dan Riani menghampiri kami “Kalian kok lama sekali? Kami udah kedinginan begini ni” Kata Kayla. “Iya, ini juga mau balik cerewet” jawabku. Kami balik ke perkemahan dan makan bersama sambil mengelilingi api unggun. *Prutttt* tiba-tiba ada suara yang nyaring dan berbau tak sedap, lalu dimas ketawa terbahak-bahak, kami meliriknya tajam, Kayla dan Riani Teriak “DIMAAASSS!!!” lalu mereka menghampiri Dimas dan mencubit-cubitnya “Jorok banget sih” kata Kayla sambil terus mencubitinya, “Hahahaha ampun-ampun maaf, aku BAB dulu ya sakit perut nih” Dimas langsung pergi kedalam hutan sambil ketawa–ketawa.

Kami menunggu Dimas 30 menit tapi dia tidak kembal juga. Kami khawatir, lalu Fandi mengajak aku, Hanif dan Agus untuk mencari Dimas dan menyuruh Riani dan Kayla untuk menjaga perkemahan. “DIMAASSSS” Teriak kami bergantian berkali–kali dan sama sekali tidak ada jawaban. Lalu kami memutuskan untuk kembali ke perkemahan dan menunggu Dimas, Setelah lama menunggu, Dimas tak juga kembal, Fandi menyuruh kami semua untuk tidur dan melanjutkan pencarian besok pagi. Keesokan harinya tidak ada juga tanda–tanda Dimas kembali, kami mencari–carinya selama 2 jam dan hasilnya nihil. Dan Fandi akhirnya mengatakan kalau Dimas menghilang dan mungkin dibawa ke alam lain dan Fandi mengatakan kalau Dimas sudah meninggal. Kami semua menangis mendengar pernyataan pahit dari mulut Fandi tadi. Siapa yang sangka setelah bersahabatan sejak 4 tahun yang lalu, dia pergi sangat cepat. Kami mencari sebuah papan, dan menulis di papan itu

“Dimas AlFarizi, teman/sahabat kami
15-08-1983 / 09-03-2013”

Lalu kami menancapkan papan itu di tempat kami berkemah, “Kami akan selalu mengenangmu sahabat, kau akan selalu menjadi sahabat terbaik kami. Tunggu kami disana” Aku berkata-kata sambil menangis. Kami berdoa untuk keselamatannya di alam sana. Lalu Fandi memutuskan untuk turun gunung. Kami sangat sedih kehilangan sahabat kami, si Hanif menyesal atas perbuatan yang dia lakukan tadi, dia meminta maaf kepadaku.

Akhirnya kami kembali ke rumah kami masing-masing dan mengabari orang tua Dimas, bahwa anaknya telah tiada. Orang tuanya sangat Shock, Ibunya pingsan mendengar kabar buruk ini. Kami minta maaf kepada orangtuanya karna tidak dapat menjaganya. Orangtuanya memakluminya, dan kami memberi surat wasiat yang ditulis Dimas sebelum mendaki gunung kepada orang tuanya. Peristiwa ini kami jadikan pelajaran, “jangan meninggalkan kawan sendirian digunung”. Dimas, tempatmu tidak akan berubah dihati kami kawan, kau tetap sahabat terbaik kami.

sumber: http://cerpenmu.com/cerpen-persahabatan/persahabatan-yang-kokoh.html

Leave a comment